TEKNIK
PEMBUATAN
PUTUSAN DAN
PENETAPAN
Secara
normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Dalam menyelesaikan
perkara Hakim tidak bekerja demi hukum atau demi undang-undang, atau demi
kepastian hukum maupun demi kemanfaatan
hukum melainkan hakim bekerja Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Frase
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi simbol bahwa hakim bekerja
mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa hakim dalam
memutuskan suatu perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia
mengatasnamakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka kelak di pengadilan
terakhir ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan
Tuhan Yang Maha Adil.
Namun
kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya
hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan
mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan hakim yang tidak mencerminkan
rasa keadilan.
Realitas
obyektif sekarang ini banyak masyarakat pencari keadilan selalu mengatakan
bahwa putusan hakim tidak adil. Orang yang dihukum, dikalahkan, merasa
dirugikan atau merasa tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki akan selalu
mengatakan putusan hakim itu tidak adil. Sebaliknya orang yang merasa menang,
diuntungkan atau merasa sesuai dengan apa yang dia kehendaki akan mengatakan
bahwa putusan hakim itu adil bahkan mungkin diberi sanjungan lagi terhadap para
hakim yang mengadili perkaranya.
Memang sulit
untuk mengukur secara matematis, putusan hakim yang bagaimana yang memenuhi
rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan
untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan
atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam pertimbangan
hukum yang digunakan hakim. Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi
hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Jika argumen
hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat
menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Sehingga tepat jika
dikatakan bahwa keberhasilan seorang hakim dapat dilihat dari putusannya karena
Putusan adalah mahkota seorang hakim, (Sambutan Dirjen Badilag dalam pembukaan
Orientasi Peningkatan Kualitas Putusan Peradilan Agama,Senin (23/3) di Padang
Sumatera Barat).
A.
Pengertian
Putusan
Putusan adalah
suatu pernyataan oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk
itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan
untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berpekara.
(Sudikno Kertokusumo 1988 :167).
Putusan yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah putusan hakim dalam rangka melaksanakan tugas
pokok pengadilan yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan
perkara yang diajukan kepada pengadilan.
Abdul Manan
mendefenisikan putusan sebagai kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis hakim
yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu
sengketa antara pihak-pihak yang beperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum. ( Abdul Manan, 2006 : 292 ).
Dari dua
defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa putusan adalah suatu pernyataan hakim
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum dengan tujuan untuk mengakhiri perkara-perkara kontentius.
Putusan Argumentatif
Dalam Kamus
Hukum, istilah argument diberikan arti sebagai alasan yang dapat dipakai untuk
memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. Berargumentasi
berarti memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat,
pendirian atau gagasan. (Sudarsono, 1992: 36),
Dalam Kamus
Bahasa Indonesia, argumen diartikan sebagai alasan berupa uraian penjelasan,
dan argumentasi diartikan sebagai pemberian alasan yang diuraikan secara jelas
untuk memperkuat suatu pendapat.
Dari
pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian argumentasi yaitu,
mengajukan alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa
serangkaian pernyataan yang secara logis berkaitan dengan pernyataan berikutnya
yang disebut konklusi, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian
atau gagasan.
Dengan demikian
Putusan yang argumentatif adalah putusan yang dijatuhkan dengan menggunakan
alasan-alasan yang logis dan diuraikan secara jelas untuk memperkuat atau
menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
B.
Asas-asas
Putusan
-
Memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar yang jelas dan rinci
Segala putusan
pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, serta
mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang berhubungan
dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tidak tertulis, yurisprudensi
atau doktrin hukum. Jadi hakim diperintah
oleh undang-undang untuk menggali, menemukan hukum, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. (baundang-undang nomor 35 tahun
1999 jo 4 tahun 2004 jo pasal 178 ayat (1) HIR).
-
Wajib mengadili seluruh bagian
gugatan
Putusan harus
dibuat secara total dan menyeluruh, memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan
yang diajukan. Putusan tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja
dan mengabaikan gugatan selebihnya (pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, pasal 189
ayat (2) RBG dan pasal 50 Rv)
-
Tidak boleh mengabulkan melebihi
tuntutan
Putusan tidak
boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan, larangan
ini disebut Ultra Petitum Partium. Putusan yang mengandung hal ini harus
dinyatakan cacat meskipun dilakukan dengan iktikad baik ataupun sesuai dengan
kepentingan umum. Sedangkan yang didasarkan pada ex aquo et bono dapat dibenarkan asal masih
dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primeir (pasal 178 ayat (3) HIR,
pasal 198 ayat (3) RBG dan pasal 50 Rv)
-
Dibacakan dalam sidang terbuka untuk
umum
Ini merupakan
bagian dari asas fair trial dengan tujuan untuk menjamin proses peradilan
terhindar dari perbuatan tercela dari pejabat pengadilan. Hal ini ditegaskan
dalam pasal 20 undang-undang Nomor 4 tahun 2004. Dan akibat pelanggaran ini
mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. (M. Yahya
Harahap, 2005 : 797-805)
C.
Jenis-jenis
Putusan
Berdasarkan ketentuan pasal
185 ayat (1) HIR/Pasal 196 ayat (1) RBG
jenis putusan dalam perkara perdata ada 2 yaitu:
1.
Putusan sela
Putusan sela
adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum memutus pokok perkaranya
dengan maksud untuk mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Putusan sela
tidak dibuat secara terpisah tetapi ditulis dalam berita acara persidangan dan
hanya dapat dimintakan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Putusan Sela
antara lain :
1)
Putusan
Preparatoir
Yaitu putusan
untuk mempersiapkan pemeriksaan perkara yang tidak mempengaruhi pokok perkara. Contoh:
Gugatan balik (rekonpensi) tidak berhubungan dengan perkara pokok (konpensi).
Maka majelis membuat putusan sela menolak rekonpensi.
2)
Putusan
Interlokutoir
Yaitu putusan
yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang berisikan perintah pembuktian dan
dapat mempengaruhi pokok perkara. Contoh: Hakim memerintahkan untuk melakukan
pemeriksaan setempat (descente) untuk menentukan apakah tergugat benar-benar
memiliki harta yang dimaksud dalam petitum
3)
Putusan
Provisionil
Yaitu putusan
hakim tentang menetapkan adanya suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah
satu pihak yang berperkara. Contoh: Putusan tentang permohonan penggugat untuk
dapat meninggalkan rumah kediaman bersama ketika pemeriksaan perkara gugat
cerai sedang berlangsung.
4)
Putusan
Insidentil
Yaitu putusan
yang berhubungan dengan timbulnya kejadian yang menunda jalannya pemeriksaan
perkara. Contoh : Masuknya pihak ketiga ketika pemeriksaan sedang berlangsung
(Vrijwaring,Voeging atau Tussenkomst)
2.
Putusan Akhir
Putusan yang
dijatuhkan oleh hakim untuk mengakhiri perkara pada pengadilan tingkat
tertentu. Sifat-sifat putusan akhir ini adalah :
1)
Putusan
Condemnatoir
yaitu bersifat menghukum salah satu pihak untuk memenuhi prestasi
tertentu. Contoh: Memerintahkan A untuk menyerahkan harta warisan kepada B.
2)
Putusan Constitutif
yaitu bersifat menghapus atau menetapkan suatu keadaan hukum. Contoh: Menyatakan terjadinya perceraian.
3)
Putusan
Declaratoir
yaitu bersifat menetapkan keadaan hukum tertentu. Contoh:
Menetapkan ahli waris atau menetapkan harta warisan.
Selain itu ada juga disebut dengan :
1.
Putusan Verstek
Yaitu putusan
yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat atau semua tergugat dengan syarat :
-
Tergugat telah dipanggil dengan
resmi dan patut.
-
Tidak hadir tanpa alasan yang sah.
-
Tidak mengajukan eksepsi kompetensi.
2.
Putusan
Contradictoir
yaitu putusan
yang dijatuhkan oleh Hakim dalam hal tergugat pernah datang menghadap
dipersidangan tetapi tidak memberi perlawanan
Jika dilihat dari segi isi putusan maka dapat dibedakan antara lain
:
1. Niet Onvankelijk verklaard (N.O) yaitu putusan yang tidak dapat
diterima karena:
-
Gugatan tidak berdasarkan hukum atau
tidak punya kepentingan hukum
-
Gugatan kabur (obscur libel)
-
Gugatan masih prematur
-
Gugatan nebis in idem
-
Gugatan error in persona
-
Gugatan daluwarsa
-
Gugatan pengadilan tidak berwenang
mengadili
-
Dikabulkan jika terbukti kebenaran
dalil-dalil gugatannya.
-
Ditolak jika tidak terbukti
kebenaran dalil-dalil gugatannya.
-
Digugurkan yaitu penggugat tidak
pernah hadir menghadap di pengadilan (pasal 124 Hir/148Rbg).
-
Digugurkan karena penggugat pernah
hadir tapi kemudian tidak pernah hadir lagi dan biaya perkaranya sudah habis.
-
Dihentikan (aan hanging) karena ada
perselisihan kewenangan.
-
Didamaikan (berbentuk akta
perdamaian), kecuali untuk perkara perceraian (perkara dicabut).
D.
Istilah-istilah
dalam putusan
a.
Provisi : adalah putusan yang
mendahului pokok perkara sebagai tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah
satu pihak atau kedua belah pihak atau dikenal juga dengan putusan yang
menjawab tuntutan provisionil.
b.
Eksepsi : adalah
tangkisan, sanggahan yang tidak langsung pada pokok perkara berisi tuntutan
batalnya gugatan.
c.
Rekonvensi : adalah
gugatan balasan, dalam hal sesorang mendapatkan gugatan maka ia berhak
mengajukan gugatan balasan terhadap gugatan asli (Konvensi) yang telah di
ajukan ke pengadilan
d.
Intervensi : adalah
ikutnya pihak ketiga yang atas kehendaknya mencampuri sengketa yang sedang
berlangsung.
e.
Vrijwaring : adalah ikut
sertanya pihak ketiga didalam sengketa yang ditarik pihak yang sedang
bersengketa secara terpaksa tujuannya untuk membebaskan pihak yang memanggilnya
dari akibat putusan dalam pokok perkara.
E.
Relasi Berita
Acara Persidangan dengan Putusan
Pengertian dan Kedudukan Berita Acara Persidangan
Berita Acara
Persidangan (BAP) memiliki nilai dan
kedudukan yang sangat strategis dan sentral dalam pemeriksaan suatu perkara.
Dikatakan sangat strategis dan sentral, karena dari sanalah semuanya bermuara.
Seperti dalam membuat suatu putusan, demikian juga pemeriksaan dalam tingkat
banding atau kasasi, eksaminasi serta penelitian berkas perkara dalam rangka
kegiatan ilmu pengetahuan, semuanya mengacu kepada Berita Acara Persidangan.
Begitu urgen dan strategisnya Berita Acara Persidangan, maka peraturan
perundang-undangan menggariskan agar Berita Acara Persidangan dibuat secara
baik dan benar oleh pejabat yang berwenang.
Berita Acara
dapat diartikan sebagai sebuah informasi tentang kejadian dan peristiwa yang
terjadi dalam proses pemeriksaan perkara dalam suatu persidangan Pengadilan.
Hal ini dapat
dipahami dari ketentuan pasal 186 ayat (1) dan (2) HIR atau Pasal 197 ayat (1)
dan (3) R.Bg bahwa: Panitera membuat berita acara pada setiap persidangan yang
berisi segala kejadian dan peristiwa yang terjadi dalam proses pemeriksaan
perkara. Demikian juga ketentuan pasal 97 Undang-undang Nomo 7 Tahun 1989
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang “ undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, disebutkan bahwa: Panitera, Wakil
Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti bertugas membantu hakim dengan
menghadiri dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.
Adapun
kedudukan Berita Acara adalah sangat kuat dan digolongkan akta otentik yang
hanya boleh dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dalam pasal 165 HIR, 285 RBg
dan pasal 1868 BW disebutkan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat oleh
atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang
lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapatkan
hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan
belaka.
Menurut Abdul
Manan, suatu akta otentik harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
(1) dibuat oleh atau di hadapan pejabat resmi/berwenang,
(2) sengaja dibuat untuk surat bukti,
(3) bersifat partai,
(4) atas permintaan partai;
(5) mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. (
Abdul Manan, 2006:241 ).
Peranan Berita Acara Persidangan
Berita Acara
Persidangan berperan sebagai pedoman/acuan bagi hakim dalam membuat putusan. Untuk membuat putusan yang baik tentu sangat
dipengaruhi oleh kondisi BAP. Hakim akan kesulitan membuat putusan dengan baik,
kalau BAP tidak sempurna. Putusan yang tidak didasarkan kepada BAP tentu hakim
dianggap mengarang. Dalam pertimbangan hukum sangat perlu bagi hakim mengetahui
kebenaran dalil-dalil gugatan, sebagai dasar baginya menetapkan hukum dan
keputusannya. Kebenaran dalil gugatan tentu akan dicari hakim dalam pemeriksaan
perkara. Kalau Panitera/Panitera Pengganti tidak akurat merekam pemeriksaan
tersebut dalam BAP, maka pemeriksaan dianggap sumir, sehingga dalam membuat
putusan juga terkesan sumir.
Oleh karena
itu, kualitas putusan sangat ditentukan oleh Berita Acara Persidangan. M. Yahya
Harahap mengemukakan bahwa barometer untuk menguji kebenaran pertimbangan
putusan adalah BAP. Putusan yang deskripsi fakta, peristiwa dan pembuktian yang
tidak sesuai dengan BAP adalah putusan yang mengandung cacat, dan dapat
dibatalkan di tingkat banding atau kasasi.( M.Yahya Harahap, 2007: 324 ).
Berita Acara Persidangan yang Baik dan Benar
Berita Acara
Persidangan yang baik dan benar menyangkut dua aspek yakni aspek sistimatika
dan aspek cara penulisan.
Dari aspek
sistimatika, Berita Acara Persidangan hendaknya dibuat berdasarkan urutan
peristiwa sidang. Untuk menghindari kesalahan dalam penyusunan sistimatika
Berita Acara Persidangan, kiranya Majelis Hakim terutama Ketua Majelis dan
Panitera/Panitera Pengganti harus memahami betul tentang tahapan demi tahapan
dari proses persidangan. Hal ini dimaksudkan apabila Majelis Hakim melakukan
kesalahan dalam menjalankan tahapan proses persidangan, kiranya tidak diikuti
oleh Panitera/Panitera Pengganti dalam proses pencatatan jalannya sidang.
Misalnya persidangan dalam acara perdamaian ternyata Majelis Hakim telah
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada pemeriksaan pokok
perkara, kesalahan seperti itu kiranya tidak diikuti oleh Panitera/Panitera
Pengganti dalam menyusun Berita Acara Persidangan.
Sedang aspek cara
penulisan, Berita Acara Persidangan hendaknya ditulis dengan penulisan yang
baik dan menggunakan kaedah-kaedah bahasa yang benar. Untuk keseragaman
penulisan BAP, seharusnya Pengadilan Tinggi Agama mengeluarkan aturan agar
diperhatikan jenis huruf yang digunakan misalnya Times New Roman dan margin
kertas 4cm x 3cm artinya ukuran atas dan kiri kertas 4cm dan ukuran bawah dan
kanan kertas 3cm. Ukuran paper yakni custom size dengan ukuran width: 21,59cm
height: 32,5cm.
Selanjutnya
menurut Abdul Manan, unsur-unsur yang harus termuat dalam BAP
sekurang-kurangnya terdiri dari 11 unsur, yakni :
1. Identitas
para pihak yang berperkara.
2.
Kedudukan para pihak dalam perkara.
3.
Susunan Majelis Hakim dan panitera
sidang.
4.
Hari, tanggal, tahun dan tempat
persidangan dilaksanakan.
5.
Keterangan tentang sidang terbuka
atau tertutup untuk umum,
6.
Keterangan tentang hadir tidaknya
pihak-pihak yang berperkara dalam persidangan.
7.
Keterangan tentang jawab menjawab
antara Penggugat dengan Tergugat.
8.
Keterangan tentang alat-alat bukti
dan saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak berperkara.
9.
Pengumuman penundaan sidang pada
hari dan tanggal yang telah ditetapkan,
10. Mencatat
segala peristiwa hukum yang diungkapkan oleh para pihak dalam persidangan.
11. Menanda
tangani berita acara oleh ketua majelis dan penitera sidang. (Abdul Manan, 2006
: 148-149).
F.
Teknik Penyusunan
Putusan yang Argumentatif
a)
Teknik
Pengambilan Keputusan
Menurut Abdul
Manan, hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan
diadili hendaknya dapat memilih 3 (tiga) tehnik pengambilan putusan yaitu:
1. Tehnik Analitik.
Metode ini juga
disebut dengan yuridis giometris. Kalau para Hakim mempergunakan metode ini,
maka hakim harus menguasai Hukum Acara secara lengkap. Tehnik Analitik paling
cocok dipergunakan pada perkara-perkara yang berskala besar dan biasanya dalam
hukum kebendaan (Zaken Rech). Metode ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat
khusus, lalu ditarik kesimpulan kepada hal-hal umum (kesimpulan deduktif).
Dalam pertimbangan hukum, Hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih
dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan dengan
pokok masalah tersebut, misalnya dalam bidang kewarisan, hakim harus memulai
dengan pernyataan siapa pewaris, lalu siapa ahli warisnya, barang-barang waris
apa saja, berapa bagian masing-masing, dan bagaimana pelaksanaannya. Tentu saja
analisa dari pertanyaan tersebut sekaligus mempertimbangkan alat-alat bukti dan
menjawab petitum dari gugatan.
Jika penjelasan tentang Hukum Acara belum begitu lengkap, sebaiknya
jangan pakai metode ini, sebab sangat sulit dalam hal analisa masalah dan
pengambilan keputusan.
2.
Tehnik
Equatable.
Tehnik ini
harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembangkan dari prinsip keadilan. Isu
pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat bukti yang diajukan
penggugat dan tergugat. Apabila alat-alat bukti itu telah diuji kebenarannya,
maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam peristiwa konkrit, yang kemudian
di cari rule nya (hukumnya).
3. Tehnik
Silogisme.
Tehnik ini
paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana dan dapat diterapkan dalam
peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga dengan metode penalaran induktif,
dimulai dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.
Penggunaan hukum logika yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama
aliran ini, dan hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan hukumnya, dan
premise minor, yaitu peristiwanya. Sebagai contoh, " Berdasarkan Pasal 89
ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah dan ditambah dengan UU
Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU Nomor
7 Tahun 1989, biaya perkara di bidang perkawinan dibebankan kepada Penggugat,
perkara ini termasuk bidang perkawinan, karena itu dalam perkara ini biaya
dibebankan kepada Penggugat ". Contoh lain adalah siapa mencuri dihukum. A
terbukti mencuri, maka A harus dihukum . Jadi rasio dan logika ditempatkan
dalam ranah yang istimewa. Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim
dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian undang-undang
berdasarkan rasio.
b)
Tahapan -
tahapan Penyusunan atau Pengambilan Putusan yang Argumentatif
Dari segi
metodologi,hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan
diadili hendaknya melalui proses tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.
Perumusan masalah atau pokok
sengketa.
Perumusan
masalah atau sengketa dari suatu perkara dapat disimpulkan dari informasi baik
dari penggugat maupun dari tergugat, yang termuat dalam gugatannya dan jawaban
tergugat, replik dan duplik. Dari tahap jawab menjawab inilah hakim dapat
memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang disengketakan oleh para
pihak. Peristiwa yang disengketakan inilah yang merupakan pokok masalah dalam
suatu perkara.
Perumusan pokok
masalah dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim merupakan kunci dari
proses tersebut. Sebab jika salah dalam merumuskan pokok masalah, maka proses
selanjutnya juga akan salah. Misalnya isteri menggugat suaminya karena suami
sering memukulnya, minum minuman keras, berjudi, dan selingkuh dengan wanita
lain, sehingga menimbulkan pertengkaran terus menerus dan sudah pisah tempat
tinggal. Rumusan masalah atau pokok sengketanya adalah " apakah telah
terjadi pertengkaran dan perselisihan terus menerus antara suami isteri,
sebagai akibat dari suami sering memukulnya, minum minuman keras, berjudi, dan
selingkuh dengan wanita lain ?
2.
Pengumpulan data dalam proses
pembuktian.
Setelah hakim
merumuskan pokok masalahnya, kemudian hakim menentukan siapa yang dibebani
pembuktian untuk pertama kali. Dari pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan
data untuk diolah guna menemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang
dianggap salah (dikonstatir). Data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat-alat
bukti dan sudah diuji kebenarannya. Misalnya saksi-saksi mengatakan bahwa benar
saksi melihat Tergugat memukul Penggugat ketika terjadi pertengkaran, ini
berarti bahwa data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat bukti sudah diuji
kebenarannya. Fakta hukum disini berupa perbuatan. Atau Penggugat mengajukan
alat bukti tertulis berupa Kutipan Akta Nikah dan dibenarkan oleh Tergugat,
maka data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat bukti sudah diuji
kebenarannya. Fakta hukum disini berupa peristiwa.
3.
Analisa data
untuk menemukan fakta.
Data yang telah
diolah akan melahirkan fakta yang akan diproses lebih lanjut sehingga
melahirkan suatu keputusan yang akurat dan benar. Menurut Black's Law
Dictionary sebagaimana yang ditulis oleh H. Taufiq, SH. (1995: 8) fakta adalah
kegiatan yang dilaksanakan atau sesuatu yang dikerjakan, atau kejadian yang
sedang berlangsung, atau kejadian yang benar-benar telah terwujud, atau
kejadian yang telah terwujud dalam waktu, dan ruang atau peristiwa fisik atau
mental yang telah menjelma dalam ruang.
Fakta berbeda
dengan hukum, kalau hukum merupakan asas sedangkan fakta merupakan kejadian.
Hukum itu adalah sesuatu yang dihayati sedangkan fakta itu sesuatu yang wujud.
Hukum itu tentang hak dan kewajiban, sedangkan fakta merupakan kejadian yang
sesuai atau bertentangan dengan hukum.
4.
Penentuan hukum dan Penerapannya
Setelah fakta
yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya hakim menemukan dan menerapkan
hukumnya. Menemukan hukum tidak hanya sekedar mencari undang-undangnya saja
untuk diterapkan pada peristiwa yang konkrit, tetapi yang dicarikan hukumnya
untuk diterapkan pada suatu peristiwa yang konkrit.
Kegiatan ini
tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk menemukan hukumnya atau
undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit
itu harus diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undang harus
disesuaikan dengan peristiwa yang konkrit.
Jika peristiwa
konkrit itu telah ditemukan hukumnya, maka langsung menerapkan hukum tersebut,
jika tidak ditemukan hukumnya, maka hakim harus mengadakan interpretasi
terhadap peraturan perundang-undangan tersebut.
Sekiranya
interpretasi tidak dapat dilakukannya, maka ia harus mengadakan konstruksi
hukum Seorang hakim dalam melakukan penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo,
(1993 : 91-92), maka harus melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut :
a). Tahap konstatir:
disini hakim
mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa yang diajukan. Misalnya benarkah si
A telah meninggalkan si B selama dua tahun berturut-turut tanpa izin si B dan
tanpa alasan yang sah, sehingga si B menderita lahir dan batin ? disini para
pihak berkewajiban untuk membuktikan melalui penggunaan alat-alat bukti. Dalam
tahap konstatir ini kegiatan hakim bersifat logis. Penguasaan hukum pembuktian
bagi hakim, sangat dibutuhkan pada tahap ini.
b). Tahap kualifikasi:
di sini hakim
kemudian mengkualifisir termasuk hubungan hukum apa tindakan si A tadi ? Dalam
hal ini dikualifisir sebagai perbuatan melalaikan kewajiban (Pasal 19 huruf (b)
PP. Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (b) KHI . Mengkualifisir menunjukkan
bahwa dalam tindakan ini dilakukan penilaian terhadap peristiwa yang telah
dianggap terbukti itu termasuk hubungan hukum apa atau yang mana. Dengan
perkataan lain, mengkualifisir merupakan tindakan menemukan hukumnya bagi peristiwa
yang telah dikonstatir.
c). Tahap konstituir:
di sini hakim
menetapkan hukumnya terhadap yang bersangkutan (para pihak). Di sini hakim
menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu simpulan dari premis mayor berupa
aturan hukumnya dan premis minor berupa tindakan si A meninggalkan si B.
Mengkonstituir merupakan tindakan memberi konstitusinya terhadap peristiwa yang
telah dikonstatir dan dikualifisir. Dengan demikian mengkonstituir sesungguhnya
mengandung pengertian bahwa dalam tindakan ini hakim menentukan hukumnya.
Uraian di atas
menunjukkan bahwa penemuan hukum oleh hakim merupakan suatu keharusan dan penting
dalam praktek di pengadilan.
5.
Pengambilan Keputusan.
Jika penemuan
hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan oleh hakim, maka ia harus
menuangkannya dalam bentuk tertulis yang disebut dengan putusan. Proses
penyusunan putusan melalui tahap-tahap inilah yang akan melahirkan sebuah
putusan yang argumentative dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan dibuat putusan
tersebut diharapkan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran peristiwa hukum
dan penerapan peraturan perundang-undangan secara tepat dalam perkara yang
diadili tersebut.
G.
Sisitematika
Putusan
Putusan yang
dibuat oleh hakim merupakan suatu dokumen resmi. Sebagai dokumen resmi tentunya
putusan itu harus dibuat secara sistematis dan terarah sehingga dapat
memudahkan kita untuk mengikuti jalan pikiran yang tertuang didalamnya.
Pada umumnya
sistematika penyusunan suatu putusan adalah sebagai berikut :
1. Kepala
putusan terdiri dari :
-
Putusan/Penetapan
-
Nomor Putusan/Penetapan
Kata Basmalah
(dengan menggunakan Bahasa Arab); ( Pasal 57 (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang
diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan diubah lagi dengan UU No. 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama ).
Kata "
Demi Keadilan dst.."( Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan
Kehakiman). Setiap putusan yang tidak mencantumkan kalimat Demi keadilan
Berdasarkan KetuhananYang Maha Esa, maka putusan yang dijatuhkan tidak dapat
dilaksanakan/ Non eksekutable.
Pengadilan .....yang mengadili perkara tertentu.
2. Identitas
dan kedudukan para pihak
-
Nama
-
Umur
-
Agama
-
Pendidikan ( untuk mengetahui
pemahaman tentang hukum );
-
Pekerjaan
-
Tempat tinggal;
-
Kuasa Hukum;
-
Alamat kantor kuasa hukum;
-
Tanggal surat kuasa;
-
Kedudukan para pihak.
Penulisan identitas para pihak berupa nama, umur, agama, pekerjan,
dan tempat kediaman adalah sangat penting sebagaimana maksud Pasal 67 UU Nomor
7 Tahun 1989. Pencantuman nama yang jelas dalam putusan adalah hal yang mutlak,
sehingga apabila terdapat perbedaan antara gugatan dengan KTP, Akta Nikah
maupun pengakuan dalam persidangan, maka penulisan nama tersebut dalam putusan
harus ditulis secara keseluruhan dengan memakai alias.
Apabila para pihak memakai kuasa hukum, maka penyebutan identitas
para pihak didahulukan dengan identitas kuasa hukum yang diikuti dengan
kata-kata dengan ini memberi kuasa kepada .. dan seterusnya
Dalam perkara
perdata yang terdapat didalamnya rekonvensi, misalnya cerai talak yang ada
rekonvensi dari isteri, maka penyebutan untuk suami sebagai Pemohon
Konvensi/Tergugat Rekonvensi. Demikian juga isteri sebagai Penggugat
Rekonvensi/Termohon Konvensi.
Penyebutan
kedudukan para pihak ini harus jelas agar memudahkan dalam memahami isi
putusan.
3. pencantuman
konsideran singkat berupa kalimat :
-
Telah melihat dan membaca
surat-surat yang bersangkutan;
-
Telah mendengar para pihak dan
keterangan saksi-saksi;
4. Duduk
perkaranya.
Hal-hal yang diuraikan dalam duduk perkara meliputi :
-
Konvensi;
-
Provisi;
-
Pokok Perkara.
-
Jawaban
-
Eksepsi;
-
Pokok Perkara;
-
Rekonvensi.
-
Replik;
-
Duplik;
-
Intervensi;
-
Vrijwaring;
-
Hasil pemeriksaan setempat;
-
Alat bukti penggugat;
-
Alat bukti tergugat;
-
Kesimpulan Penggugat dan Tergugat.
Kemudian untuk mempersingkat keterangan yang terdapat dalam
persidangan, maka ditulis kata-kata bahwa â€Å“ untuk meringkas uraian putusan
ini, maka ditunjuk semua yang berlangsung dalam persidangan sebagaimana
tercatat dalam berita acara persidangan dianggap masuk dalam putusan ini.
5. Pertimbangan
Hukum.
Hal-hal yang
harus dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum adalah sebagai berikut :
-
Pertimbangan kewenangan;
-
Pertimbangan personal standing;
-
Pertimbangan provisi;
-
Pertimbangan eksepsi;
-
Pertimbangan dalil mana yang harus
dibuktikan;
-
Pertimbangan alat bukti eksepsi
tergugat;
-
Pertimbangan alat bukti penggugat
untuk melumpuhkan alat bukti eksepsi Tergugat;
-
Pertimbangan dalil eksepsi Tergugat
yang dapat dibuktikan/tidak dapat dibuktikan;
-
Pertimbangan penerapan hukum;
-
Pertimbangan pengabulan
eksepsi/penolakan eksepsi.
Ø Pertimbangan
pokok perkara meliputi :
Pertimbangan dalil yang diakui tergugat;
Pertimbangan dalil yang dibantah;
Pertimbangan dalil-dalil yang harus dibuktikan;
Pertimbangan alat bukti Penggugat;
Pertimbangan alat bukti Tergugat untuk melumpuhkan alat bukti
Penggugat;
Pertimbangan dalil penggugat yang dapat dibuktikan;
-
Pertimbangan penerapan hukum;
-
Pertimbangan pengabulan atau
penolakan gugatan konvensi;
-
Pertimbangan sita jaminan sah dan
berharga.
Ø Pertimbangan
rekonvensi meliputi :
-
Pertimbangan dalil yang diakui
tergugat rekonvensi;
-
Pertimbangan dalil rekonvensi yang
dibantah;
-
Pertimbangan dalil rekonvensi yang
harus dibuktikan;
-
Pertimbangan bukti penggugat
rekonvensi;
-
Pertimbangan bukti tergugat
rekonvensi untuk melumpuhkan bukti Penggugat rekonvensi;
-
Pertimbangan dalil penggugat
rekonvensi yang dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan;
-
Pertimbangan penerapan hukum;
-
Pertimbangan pengabulan rekonvensi
atau penolakan rekonvensi;
-
Pertimbangan sita jaminan sah dan
berharga dalam rekonvensi.
-
Pertimbangan intervensi;
-
Pertimbangan dalil intervensi yang
diakui Tergugat intervensi;
-
Pertimbangan dalil intervensi yang
dibantahTergugat intervensi;
-
Pertimbangan dalil intervensi yang
harus dibuktikan;
-
Pertimbangan alat bukti penggugat intervensi;
-
Pertimbangan alat bukti tergugat
intervensi untuk melumpuhkan bukti penggugat intervensi;
-
Pertimbangan dalil penggugat
intervensi yang dapat dibuktikan atau yang tidak dapat dibuktikan;
-
Pertimbangan penerapan hukum;
-
Pertimbangan pengabulan gugatan
intervensi atau penenolakan intervensi;
-
Pertimbangan sita jaminan sah dan
berharga dalam intervensi.
-
Pertimbangan
konvensi/rekonvensi/intervensi tentang biaya perkara;
-
Paragraf mengingat peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta hukum islam yang berkaitan dengan perkara
ini.
6.
Amar putusan
Amar putusan
adalah isi dari putusan itu sendiri yang merupakan jawaban petitum dalam surat
gugatan penggugat . Merupakan jawaban dari petitum gugatan yang dimulai dengan
kata-kata mengadili. Dalam menyusun amar hakim haruslah tegas dan jelas
terperinci dan jelas maksudnya sehingga mudah dalam pelaksanaanya, dan pada
amar itu dilihat sifat-sifat putusan tersebut dalam amar juga disebut besarnya
biaya dan pembebanannya kepada siapa (vide 181 HIR/192 RBG, pasal 89 ayat (1)
UU no 7 tahun 1989).
Dalam menyusun amar putusan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Harus
bersifat tegas, lugas, terperinci tidak samar-samar atau tidak menimbulkan
penafsiran.
b.
Sifat amar apakah konstitutif,
deklaratoir atau condemnatoir, hal ini menyangkut eksekusi.
c.
Besarnya biaya perkara yang harus di
tanggung oleh para Penggugat/ Tergugat.
d.
Jika ada mengabulkan sita dan telah
di letakkan sita dan perkaranya dikabulkan hakim harus menyatakan sita sah dan
berharga, sebaliknya jika perkaranya ditolak, maka sita harus dinyatakan
diangkat karena bila hakim lupa mengangkat sita, maka sita tersebut akan
melekat selamanya.
e.
Setiap amar harus telah
dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum terlebih dahulu.
f. Amar
tidak boleh lebih dari petitum (Pasal 178 (3) HIR/ 189 (3) RBG) kecuali apabila
hal-hal yang tidak dituntut itu disebutkan dalam Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.( Ex offisio Hakim ).
Kata MENGADILI
PROVISI:
KONVENSI:
Eksepsi
Pokok Perkara
REKONVENSI:
Eksepsi
Pokok Perkara
INTERVENSI:
Eksepsi
Pokok Perkara
DALAM KONVENSI, REKONVENSI DAN INTERVENSI
Tentang biaya perkara
Bagian penutup/kaki putusan
Mencantumkan waktu putusan tersebut dijatuhkan, Hakim majelis dan
panitera yang memutus serta keterangan hadir atau tidaknya para pihak dan
diberi materai dan rincian biaya perkara.
Tanggal penjatuhan putusan;
Majelis yang menjatuhkan putusan;
Penjelasan persidangan terbuka untuk umum pada saat pembacaan
putusan;
Kehadiran para pihak;
Kolom tanda tangan majelis dan panitera pengganti;
Rincian biaya perkara;
Tehnik pembuatan putusan dan penetapan
·
Diketik di kertas A4 dengan 1 ½
spasi.
·
Font Arial size 12
·
Menggunakan kertas A4 70 gram.
·
Ukuran margin sebagai berikut :
Batas Atas 3 cm, Batas Kiri 5 cm, Batas Bawah 3 cm, Batas Kanan 2 cm
·
Pada bagian kepala putusan ditulis
nomor putusan yang diambil dari nomor perkara kemudian ada kata
Bismillahirrahmanirrahim dan â€Å“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemudian menyebutkan nama pengadilan yang memutus perkara serta jenis
perkaranya.
·
Pada bagian identitas menyebutkan
pihak-pihak serta kedudukannya dalam perkara tersebut. Tentang duduknya perkara
selalu dimulai dengan kata-kata menimbang bahwa dan disusun secara kronologis
dimulai dengan saat mengajukan gugatan, terdaftar dalam register perkara, dan
gugatan, jawaban, replik, duplik, alat-alat bukti serta kesimpulan para pihak.
·
Tentang pertimbangan hukum dimulai
dengan kata-kata menimbang bahwa..dan seterusnya sampai pada pembebanan biaya
perkara.
·
Amar putusan ditulis dengan
kata-kata MENGADILI lalu baru buat putusan sebagai jawaban dari petitum
tergugat kemudian pada bagian penutup/hal putusan ditulis hari/tanggal
dijatuhkan putusan oleh pengadilan……dan nama majelis hakim dan panitera
penggantinya serta dihadiri atau tidak pihak-pihak yang berperkara. Pada bagian
bawah sebelah kanan ditulis hakim ketua yang ditanda tangani diatas materai dan
sebelah kiri secara berurut kebawah nama hakim anggota dan paling bawah
perincian biaya perkara.
Didalam proses
penalaran hukum dari segi metodologinya mempunyai urutan sebagai berikut:
·
Perumusan pokok sengketa
·
Penemuan fakta
·
Penemuan Hukum
·
Penalaran Hukum
·
Pengambilan keputusan / penerapan
hukum
·
Penulisan putusan
Hakim sebelum
memutuskan suatu perkara harus melalui tahapan kegiatan yaitu.
1. Mengkonstatir
peristiwa hukum
2.
Mengkualifisir peristiwa hukum yang
diajukan para pihak
3.
Mengkonstituir
7.
Penetapan
Penetapan
berupa putusan hakim yang berisi pertimbangan hakim karena adanya permohonan
dan diktum penyelesaian permohonan yang di tuangkan dalam bentuk penetapan
(beschikhing).
Sifat diktumnya deklaratoir.
Nilai penetapan sebagai akta otentik yang melekat hanya pada diri
pemohon saja, tidak pada lainnya.
Pada penetapan tidak berlaku asas nebis in idem
Upaya hukumnya kasasi (pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 14
tahun 1985 yang telah di ubah dengan undang-undang nomor 5 tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung Republik Indonesia)
Selain itu ada
beberapa bentuk penetapan yang menjadi produk pengadilan antara lain:
-
PMH (Penetapan Majelis Hakim)
-
PHS (Penetapan Hari Sidang)
-
Penetapan mengabulkan untuk
berpekara prodeo
-
Penetapan mengabulkan untuk
berpekara menolak prodeo
-
Penetapan pencabutan perkara oleh
Penggugat sebelum ada jawaban
-
Penetapan mediator
-
Penetapan tentang terjadinya talak
-
Penetapan perintah sita jaminan
dengan disertai PHS
-
Penetapan perintah sita jaminan
dengan menangguhkan PHS
-
Penetapan penolakan sita jaminan
dengan disertai PHS
-
Penetapan menangguhkan sita jaminan
dengan disertai PHS
-
Penetapan perintah sita eksekusi
-
Penetapan perintah memanggil
Tergugat untuk diberi teguran memenuhi isi putusan (aanmaning)
-
Penetapan perintah eksekusi
pembayaran sejumlah uang
-
Penetapan eksekusi rill
-
Penetapan perintah sita eksekusi
A.
STUDI KASUS
Baca kasus ini dengan seksama
RESUME PUTUSAN
Nomor : 980/Pdt.G/2001/PA.JA tanggal 4 februari 2002 dantanggal 15
juli 2002
Ilham bin Hadi
menikah dengan Maria binti Musa tanggal 15-2-1986 dan tercatat di KUA Kec.
Kota, Kab. Bantul, Akta Nikah No. 52/29/1986 dan telah dikaruniai dua orang
anak, yaitu : Rina, umur 11 tahun (pr) dan Umar, umur 10 tahun (ik).
Sejak lahir
1998 mereka sering bertengkar karena Maria berubah menjadi cerewet, keras
kepala, curiga dan pencemburu, selalu menyalahkan suami, dan pemboros. Kalo
bertengkar Maria sering mencaci dan merendahkan martabat IIham.
Pada bulan juli 2001 IIham pulang kerumah orang tuanya dengan
membawa anak-anak dan sejak itu mereka tidak pernah berkumpul lagi. Pada
tanggal 16-12-2001 IIham mengajukan permohonan talak ke Pengadilan Agama
Jakarta Atas. Pengadilan memanggil Maria tetapi ia tidak pernah hadir
dipersidangan.
IIham
mengajukan bukti foto copy Akte Nikah dan saksi keluarga bernama Harti binti
Bambang, yang menerangkan dibawah sumpah pada pokoknya sejak tahun 1998, rumah
tangga IIham dan Maria tidak harmonis lagi dan sering bertengkar. Sejak bulan
yang lalu, IIham meninggalkan Maria dengan mengajak dua anaknya. Mengenai
sebabnya, Harti tidak tahu. Pihak keluarga telah berusaha mendamaikan mereka
tetapi tidak berhasil. IIham menyatakan sanggup memberikan nafkah iddah dan
muth’ah Rp. 3.000.000,.
Dalam
pertimbangannya Majelis Hakim antara lain menyatakan :
Menimbang,
bahwa Maria tidak pernah hadir dipersidangan meskipun telah dipanggil dengan
patut, maka termohon dianggap mengakui dan membenarkan permohonan pemohon.
Karenanya permohonan pemohon harus dinyatakan terbukti sejalan dengan maksud
pasal 174 HIR;
Menimbang,
bahwa Majelis Hakim telah mendengar keterangan keluarga pemohon bernama Harti
binti Bambang yang menerangkan sebagaimana tersebut diatas;
Menimbang, bahwa
dengan demikian dapat disimpulkan rumah tangga pemohon dan termohon sudah pecah
dan tidak sesuai lagi dengan tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud pasal 3
Kompilasi Hukum Islam dan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, sehingga mempertahankan
perkawinan tetap berlangsung justru akan menimbulkan dampak yang tidak baik
bagi kedua belah pihak dan anak-anak;
Berdasarkan
pertimbangan diatas maka alasan perceraian dalam pasal 19 (f) PP No.9 tahun
1975 telah terwujud, dan permohonan talak pemohon dapat dikabulkan;
Menimbang,
bahwa termohon tidak pernah hadir dipersidangan meskipun telah dipanggil secara
patut, dan ketidak hadirannya tidak mempunyai alasan yang sah, sedang
permohonan pemohon sudah beralasan dan tidak melawan hak, maka permohonan
tersebut dapat diputus secara verstek sejalan dengan pasal 125 HIR
Menimbang bahwa pemohon sanggup memberikan nafkah iddah dan muth’ah
Rp. 3.000.000,.kepada termohon setelah sidang ikrar talak, dan termohon
dianggap setuju karena tidak pernah hadir di persidangan untuk membantahnya.
Oleh karenanya nafkah iddah dan muth̢۪ah ini wajib ditaati oleh kedua belah
pihak.
Selanjutnya
Majelis Hakim menjatuhkan putusan verstek yang pada pokoknya memberi ijin
kepada IIham untuk menjatuhkan talak terhadap Maria dengan kewajiban membayar
nafkah iddah dan muth’ah Rp.3.000.000,.serta biaya perkara sebesar Rp.277.000,.
Sehubungan
dengan putusan verstek tersebut MARIA tidak puas dan melalui kuasa Hukumnya
dari Lembaga Perlindungan Perempuan
mengajukan verzet pada
tanggal 17 Maret 2002 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Bahwa Maria
membantah semua dalil permohonan IIham. Selama ini rumah tangganya biasa-biasa
saja. Semua itu hanya alasan yang direkayasa IIham untuk menceraikannya.
Bahwa benar
sejak juli 2001 IIham pergi meninggalkannya dengan membawa anak-anak, tetapi
bukan karena bertengkar, tetapi karena IIham akan kawin lagi dengan Wati,
seorang janda kaya teman bisnis IIham. Sejak meninggalkan rumah, IIham tidak
pulang kerumah orang tuanya tetapi kumpul serumah dengan Wati. Dan pada bulan
Agustus 2001 IIham pernah membujuk Maria agar mau di cerai, sebab Wati akan
menganggap lunas utang-utang IIham apabila ia mau menceraikan Maria, Kemudian
menikahi Wati. Jadi alasan IIham untuk menceraikan Maria yang sebenarnya adalah
untuk memenuhi permintaan Wati tersebut.
Berdasarkan
alasan-alasan tersebut Maria mohon agar permohonan talak IIham ditolak karena
tidak beralasan dan Maria tidak bersalah.
Sebagai
antisipasi apabila pengadilan tetap mengabulkan permohonan IIham untuk
menjatuhkan talaknya, maka Maria mengajukan gugat balik sebagai berikut :
Sejak pergi
dari rumah bulan juli 2001, IIham tidak pernah memberi nafkah kepada Maria,
Karena itu ia harus membayar utang nafkah selama 7 bulan a. Rp. 6.000.000,. =
Rp. 42.000.000,-, nafkah iddah = Rp.20.000.000,- dan muth’ah Rp.100.000.000,-
karena Rina dan Umar belum berumur 12 tahun maka hadlanah agar diserahkan
kepada Maria, sedang nafkahnya harus ditanggung IIham sebagai ayahnya sebesar Rp.
4.000.000,-/bulan
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis, PT.Toko Gunung Agung, Jakarta: 2002;
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006;
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag.RI, Himpunan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, 2004;
Ensiklopedia Hukum Islam, 1996
Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim Jakarta 2009
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, tanpa tahun;
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Sinar Grafika, Jakarta, 2007
------------ , Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
2000;
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan hukum,Citra Aditya
Bakti,1993;
------------, Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty,Yogyakarta,1988;
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta, 1992;
Taufiq,H, Teknik Membuat Putusan, PPHIM, Jakarta,1988;
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, Cet. 1.
Alumni : Bandung, 2000.
Kosmistis itu apa ya
BalasHapus