Pages - Menu

Kamis, 28 Mei 2015

Teknik Pembuatan Putusan dan Penetapan



TEKNIK PEMBUATAN
PUTUSAN DAN PENETAPAN

Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja demi hukum atau demi undang-undang, atau demi kepastian hukum maupun  demi kemanfaatan hukum  melainkan hakim bekerja Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Frase Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi simbol bahwa hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa hakim dalam memutuskan suatu perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatasnamakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka kelak di pengadilan terakhir ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan.
Realitas obyektif sekarang ini banyak masyarakat pencari keadilan selalu mengatakan bahwa putusan hakim tidak adil. Orang yang dihukum, dikalahkan, merasa dirugikan atau merasa tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki akan selalu mengatakan putusan hakim itu tidak adil. Sebaliknya orang yang merasa menang, diuntungkan atau merasa sesuai dengan apa yang dia kehendaki akan mengatakan bahwa putusan hakim itu adil bahkan mungkin diberi sanjungan lagi terhadap para hakim yang mengadili perkaranya.
Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam pertimbangan hukum yang digunakan hakim. Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Sehingga tepat jika dikatakan bahwa keberhasilan seorang hakim dapat dilihat dari putusannya karena Putusan adalah mahkota seorang hakim, (Sambutan Dirjen Badilag dalam pembukaan Orientasi Peningkatan Kualitas Putusan Peradilan Agama,Senin (23/3) di Padang Sumatera Barat).
A.     Pengertian Putusan
Putusan adalah suatu pernyataan oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berpekara. (Sudikno Kertokusumo 1988 :167).
Putusan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah putusan hakim dalam rangka melaksanakan tugas pokok pengadilan yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepada pengadilan.
Abdul Manan mendefenisikan putusan sebagai kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang beperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. ( Abdul Manan, 2006 : 292 ).
Dari dua defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa putusan adalah suatu pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk mengakhiri perkara-perkara kontentius.
Putusan Argumentatif
Dalam Kamus Hukum, istilah argument diberikan arti sebagai alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. Berargumentasi berarti memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. (Sudarsono, 1992: 36),
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, argumen diartikan sebagai alasan berupa uraian penjelasan, dan argumentasi diartikan sebagai pemberian alasan yang diuraikan secara jelas untuk memperkuat suatu pendapat.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian argumentasi yaitu, mengajukan alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan yang secara logis berkaitan dengan pernyataan berikutnya yang disebut konklusi, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
Dengan demikian Putusan yang argumentatif adalah putusan yang dijatuhkan dengan menggunakan alasan-alasan yang logis dan diuraikan secara jelas untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
B.     Asas-asas Putusan
-          Memuat alasan-alasan dan dasar-dasar  yang jelas dan rinci
Segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, serta mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang berhubungan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tidak tertulis, yurisprudensi atau doktrin hukum.  Jadi hakim diperintah oleh undang-undang untuk menggali, menemukan hukum, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. (baundang-undang nomor 35 tahun 1999 jo 4 tahun 2004 jo pasal 178 ayat (1) HIR).
-          Wajib mengadili seluruh bagian gugatan
Putusan harus dibuat secara total dan menyeluruh, memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Putusan tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya (pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, pasal 189 ayat (2) RBG dan pasal 50 Rv)
-          Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan, larangan ini disebut Ultra Petitum Partium. Putusan yang mengandung hal ini harus dinyatakan cacat meskipun dilakukan dengan iktikad baik ataupun sesuai dengan kepentingan umum. Sedangkan yang didasarkan pada  ex aquo et bono dapat dibenarkan asal masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primeir (pasal 178 ayat (3) HIR, pasal 198 ayat (3) RBG dan pasal 50 Rv)
-          Dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum
Ini merupakan bagian dari asas fair trial dengan tujuan untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela dari pejabat pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 20 undang-undang Nomor 4 tahun 2004. Dan akibat pelanggaran ini mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. (M. Yahya Harahap, 2005 : 797-805)
C.     Jenis-jenis Putusan
  Berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat (1) HIR/Pasal 196 ayat (1)  RBG jenis putusan dalam perkara perdata ada 2 yaitu:
1.      Putusan sela
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum memutus pokok perkaranya dengan maksud untuk mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Putusan sela tidak dibuat secara terpisah tetapi ditulis dalam berita acara persidangan dan hanya dapat dimintakan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Putusan Sela antara lain :
1)      Putusan Preparatoir
Yaitu putusan untuk mempersiapkan pemeriksaan perkara yang tidak mempengaruhi pokok perkara. Contoh: Gugatan balik (rekonpensi) tidak berhubungan dengan perkara pokok (konpensi). Maka majelis membuat putusan sela menolak rekonpensi.
2)      Putusan Interlokutoir
Yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang berisikan perintah pembuktian dan dapat mempengaruhi pokok perkara. Contoh: Hakim memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan setempat (descente) untuk menentukan apakah tergugat benar-benar memiliki harta yang dimaksud dalam petitum
3)      Putusan Provisionil
Yaitu putusan hakim tentang menetapkan adanya suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak yang berperkara. Contoh: Putusan tentang permohonan penggugat untuk dapat meninggalkan rumah kediaman bersama ketika pemeriksaan perkara gugat cerai sedang berlangsung.
4)      Putusan Insidentil
Yaitu putusan yang berhubungan dengan timbulnya kejadian yang menunda jalannya pemeriksaan perkara. Contoh : Masuknya pihak ketiga ketika pemeriksaan sedang berlangsung (Vrijwaring,Voeging atau Tussenkomst)
2.      Putusan Akhir
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim untuk mengakhiri perkara pada pengadilan tingkat tertentu. Sifat-sifat putusan akhir ini adalah :
1)      Putusan Condemnatoir
yaitu bersifat menghukum salah satu pihak untuk memenuhi prestasi tertentu. Contoh: Memerintahkan A untuk menyerahkan harta warisan kepada B.
2)      Putusan Constitutif
yaitu bersifat menghapus atau menetapkan suatu keadaan hukum.  Contoh: Menyatakan terjadinya perceraian.
3)      Putusan Declaratoir
yaitu bersifat menetapkan keadaan hukum tertentu. Contoh: Menetapkan ahli waris atau menetapkan harta warisan. 
Selain itu ada juga disebut dengan :
1.      Putusan Verstek
Yaitu putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat atau semua tergugat dengan syarat :
-          Tergugat telah dipanggil dengan resmi dan patut.
-          Tidak hadir tanpa alasan yang sah.
-          Tidak mengajukan eksepsi kompetensi.
2.      Putusan Contradictoir
yaitu putusan yang dijatuhkan oleh Hakim dalam hal tergugat pernah datang menghadap dipersidangan tetapi tidak memberi perlawanan
Jika dilihat dari segi isi putusan maka dapat dibedakan antara lain :
1.      Niet Onvankelijk verklaard (N.O) yaitu putusan yang tidak dapat diterima karena:
-          Gugatan tidak berdasarkan hukum atau tidak punya kepentingan hukum
-          Gugatan kabur (obscur libel)
-          Gugatan masih prematur
-          Gugatan nebis in idem
-          Gugatan error in persona
-          Gugatan daluwarsa
-          Gugatan pengadilan tidak berwenang mengadili
-          Dikabulkan jika terbukti kebenaran dalil-dalil gugatannya.
-          Ditolak jika tidak terbukti kebenaran dalil-dalil gugatannya.
-          Digugurkan yaitu penggugat tidak pernah hadir menghadap di pengadilan (pasal 124 Hir/148Rbg).
-          Digugurkan karena penggugat pernah hadir tapi kemudian tidak pernah hadir lagi dan biaya perkaranya sudah habis.
-          Dihentikan (aan hanging) karena ada perselisihan kewenangan.
-          Didamaikan (berbentuk akta perdamaian), kecuali untuk perkara perceraian (perkara dicabut).
D.     Istilah-istilah dalam putusan
a.        Provisi : adalah putusan yang mendahului pokok perkara sebagai tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak atau kedua belah pihak atau dikenal juga dengan putusan yang menjawab tuntutan provisionil.
b.      Eksepsi : adalah tangkisan, sanggahan yang tidak langsung pada pokok perkara berisi tuntutan batalnya gugatan.
c.       Rekonvensi : adalah gugatan balasan, dalam hal sesorang mendapatkan gugatan maka ia berhak mengajukan gugatan balasan terhadap gugatan asli (Konvensi) yang telah di ajukan ke pengadilan
d.      Intervensi : adalah ikutnya pihak ketiga yang atas kehendaknya mencampuri sengketa yang sedang berlangsung.
e.       Vrijwaring : adalah ikut sertanya pihak ketiga didalam sengketa yang ditarik pihak yang sedang bersengketa secara terpaksa tujuannya untuk membebaskan pihak yang memanggilnya dari akibat putusan dalam pokok perkara.
E.     Relasi Berita Acara Persidangan dengan Putusan
Pengertian dan Kedudukan Berita  Acara Persidangan
Berita Acara Persidangan (BAP)  memiliki nilai dan kedudukan yang sangat strategis dan sentral dalam pemeriksaan suatu perkara. Dikatakan sangat strategis dan sentral, karena dari sanalah semuanya bermuara. Seperti dalam membuat suatu putusan, demikian juga pemeriksaan dalam tingkat banding atau kasasi, eksaminasi serta penelitian berkas perkara dalam rangka kegiatan ilmu pengetahuan, semuanya mengacu kepada Berita Acara Persidangan. Begitu urgen dan strategisnya Berita Acara Persidangan, maka peraturan perundang-undangan menggariskan agar Berita Acara Persidangan dibuat secara baik dan benar oleh pejabat yang berwenang.
Berita Acara dapat diartikan sebagai sebuah informasi tentang kejadian dan peristiwa yang terjadi dalam proses pemeriksaan perkara dalam suatu persidangan Pengadilan.
Hal ini dapat dipahami dari ketentuan pasal 186 ayat (1) dan (2) HIR atau Pasal 197 ayat (1) dan (3) R.Bg bahwa: Panitera membuat berita acara pada setiap persidangan yang berisi segala kejadian dan peristiwa yang terjadi dalam proses pemeriksaan perkara. Demikian juga ketentuan pasal 97 Undang-undang Nomo 7 Tahun 1989 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang “ undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, disebutkan bahwa: Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti bertugas membantu hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.
Adapun kedudukan Berita Acara adalah sangat kuat dan digolongkan akta otentik yang hanya boleh dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dalam pasal 165 HIR, 285 RBg dan pasal 1868 BW disebutkan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapatkan hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka.
Menurut Abdul Manan, suatu akta otentik harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
(1) dibuat oleh atau di hadapan pejabat resmi/berwenang,
(2) sengaja dibuat untuk surat bukti,
(3) bersifat partai,
(4) atas permintaan partai;
(5) mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. ( Abdul Manan, 2006:241 ).
Peranan Berita Acara Persidangan
Berita Acara Persidangan berperan sebagai pedoman/acuan bagi hakim dalam membuat putusan.  Untuk membuat putusan yang baik tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi BAP. Hakim akan kesulitan membuat putusan dengan baik, kalau BAP tidak sempurna. Putusan yang tidak didasarkan kepada BAP tentu hakim dianggap mengarang. Dalam pertimbangan hukum sangat perlu bagi hakim mengetahui kebenaran dalil-dalil gugatan, sebagai dasar baginya menetapkan hukum dan keputusannya. Kebenaran dalil gugatan tentu akan dicari hakim dalam pemeriksaan perkara. Kalau Panitera/Panitera Pengganti tidak akurat merekam pemeriksaan tersebut dalam BAP, maka pemeriksaan dianggap sumir, sehingga dalam membuat putusan juga terkesan sumir.
Oleh karena itu, kualitas putusan sangat ditentukan oleh Berita Acara Persidangan. M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa barometer untuk menguji kebenaran pertimbangan putusan adalah BAP. Putusan yang deskripsi fakta, peristiwa dan pembuktian yang tidak sesuai dengan BAP adalah putusan yang mengandung cacat, dan dapat dibatalkan di tingkat banding atau kasasi.( M.Yahya Harahap, 2007: 324 ).
Berita Acara Persidangan yang Baik dan Benar
Berita Acara Persidangan yang baik dan benar menyangkut dua aspek yakni aspek sistimatika dan aspek cara penulisan.
Dari aspek sistimatika, Berita Acara Persidangan hendaknya dibuat berdasarkan urutan peristiwa sidang. Untuk menghindari kesalahan dalam penyusunan sistimatika Berita Acara Persidangan, kiranya Majelis Hakim terutama Ketua Majelis dan Panitera/Panitera Pengganti harus memahami betul tentang tahapan demi tahapan dari proses persidangan. Hal ini dimaksudkan apabila Majelis Hakim melakukan kesalahan dalam menjalankan tahapan proses persidangan, kiranya tidak diikuti oleh Panitera/Panitera Pengganti dalam proses pencatatan jalannya sidang. Misalnya persidangan dalam acara perdamaian ternyata Majelis Hakim telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada pemeriksaan pokok perkara, kesalahan seperti itu kiranya tidak diikuti oleh Panitera/Panitera Pengganti dalam menyusun Berita Acara Persidangan. 
Sedang aspek cara penulisan, Berita Acara Persidangan hendaknya ditulis dengan penulisan yang baik dan menggunakan kaedah-kaedah bahasa yang benar. Untuk keseragaman penulisan BAP, seharusnya Pengadilan Tinggi Agama mengeluarkan aturan agar diperhatikan jenis huruf yang digunakan misalnya Times New Roman dan margin kertas 4cm x 3cm artinya ukuran atas dan kiri kertas 4cm dan ukuran bawah dan kanan kertas 3cm. Ukuran paper yakni custom size dengan ukuran width: 21,59cm height: 32,5cm.
Selanjutnya menurut Abdul Manan, unsur-unsur yang harus termuat dalam BAP sekurang-kurangnya terdiri dari 11 unsur, yakni :
1.      Identitas para pihak yang berperkara.
2.      Kedudukan para pihak dalam perkara.
3.      Susunan Majelis Hakim dan panitera sidang.
4.      Hari, tanggal, tahun dan tempat persidangan dilaksanakan.
5.      Keterangan tentang sidang terbuka atau tertutup untuk umum,
6.      Keterangan tentang hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara dalam persidangan.
7.      Keterangan tentang jawab menjawab antara Penggugat dengan Tergugat.
8.      Keterangan tentang alat-alat bukti dan saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak berperkara.
9.      Pengumuman penundaan sidang pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan,
10.  Mencatat segala peristiwa hukum yang diungkapkan oleh para pihak dalam persidangan.
11.  Menanda tangani berita acara oleh ketua majelis dan penitera sidang. (Abdul Manan, 2006 : 148-149).
F.      Teknik Penyusunan Putusan yang Argumentatif
a)      Teknik Pengambilan Keputusan
Menurut Abdul Manan, hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili hendaknya dapat memilih 3 (tiga) tehnik pengambilan putusan yaitu:
1.      Tehnik Analitik.
Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para Hakim mempergunakan metode ini, maka hakim harus menguasai Hukum Acara secara lengkap. Tehnik Analitik paling cocok dipergunakan pada perkara-perkara yang berskala besar dan biasanya dalam hukum kebendaan (Zaken Rech). Metode ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat khusus, lalu ditarik kesimpulan kepada hal-hal umum (kesimpulan deduktif). Dalam pertimbangan hukum, Hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut, misalnya dalam bidang kewarisan, hakim harus memulai dengan pernyataan siapa pewaris, lalu siapa ahli warisnya, barang-barang waris apa saja, berapa bagian masing-masing, dan bagaimana pelaksanaannya. Tentu saja analisa dari pertanyaan tersebut sekaligus mempertimbangkan alat-alat bukti dan menjawab petitum dari gugatan.
Jika penjelasan tentang Hukum Acara belum begitu lengkap, sebaiknya jangan pakai metode ini, sebab sangat sulit dalam hal analisa masalah dan pengambilan keputusan.
2.      Tehnik Equatable.
Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembangkan dari prinsip keadilan. Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat. Apabila alat-alat bukti itu telah diuji kebenarannya, maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam peristiwa konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya).
3.      Tehnik Silogisme.
Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus. Penggunaan hukum logika yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim mengambil kesimpulan dari adanya  premise mayor, yaitu peraturan hukumnya, dan premise minor, yaitu peristiwanya. Sebagai contoh, " Berdasarkan Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 7 Tahun 1989, biaya perkara di bidang perkawinan dibebankan kepada Penggugat, perkara ini termasuk bidang perkawinan, karena itu dalam perkara ini biaya dibebankan kepada Penggugat ". Contoh lain adalah siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus dihukum . Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang istimewa. Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio.
b)      Tahapan - tahapan Penyusunan atau Pengambilan Putusan yang Argumentatif
Dari segi metodologi,hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili hendaknya melalui proses tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.      Perumusan masalah atau pokok sengketa.
Perumusan masalah atau sengketa dari suatu perkara dapat disimpulkan dari informasi baik dari penggugat maupun dari tergugat, yang termuat dalam gugatannya dan jawaban tergugat, replik dan duplik. Dari tahap jawab menjawab inilah hakim dapat memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang disengketakan oleh para pihak. Peristiwa yang disengketakan inilah yang merupakan pokok masalah dalam suatu perkara.
Perumusan pokok masalah dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim merupakan kunci dari proses tersebut. Sebab jika salah dalam merumuskan pokok masalah, maka proses selanjutnya juga akan salah. Misalnya isteri menggugat suaminya karena suami sering memukulnya, minum minuman keras, berjudi, dan selingkuh dengan wanita lain, sehingga menimbulkan pertengkaran terus menerus dan sudah pisah tempat tinggal. Rumusan masalah atau pokok sengketanya adalah " apakah telah terjadi pertengkaran dan perselisihan terus menerus antara suami isteri, sebagai akibat dari suami sering memukulnya, minum minuman keras, berjudi, dan selingkuh dengan wanita lain ?
2.      Pengumpulan data dalam proses pembuktian.
Setelah hakim merumuskan pokok masalahnya, kemudian hakim menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama kali. Dari pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan data untuk diolah guna menemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang dianggap salah (dikonstatir). Data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat-alat bukti dan sudah diuji kebenarannya. Misalnya saksi-saksi mengatakan bahwa benar saksi melihat Tergugat memukul Penggugat ketika terjadi pertengkaran, ini berarti bahwa data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat bukti sudah diuji kebenarannya. Fakta hukum disini berupa perbuatan. Atau Penggugat mengajukan alat bukti tertulis berupa Kutipan Akta Nikah dan dibenarkan oleh Tergugat, maka data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat bukti sudah diuji kebenarannya. Fakta hukum disini berupa peristiwa.
3.      Analisa data untuk menemukan fakta.
Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan diproses lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat dan benar. Menurut Black's Law Dictionary sebagaimana yang ditulis oleh H. Taufiq, SH. (1995: 8) fakta adalah kegiatan yang dilaksanakan atau sesuatu yang dikerjakan, atau kejadian yang sedang berlangsung, atau kejadian yang benar-benar telah terwujud, atau kejadian yang telah terwujud dalam waktu, dan ruang atau peristiwa fisik atau mental yang telah menjelma dalam ruang.
Fakta berbeda dengan hukum, kalau hukum merupakan asas sedangkan fakta merupakan kejadian. Hukum itu adalah sesuatu yang dihayati sedangkan fakta itu sesuatu yang wujud. Hukum itu tentang hak dan kewajiban, sedangkan fakta merupakan kejadian yang sesuai atau bertentangan dengan hukum.
4.      Penentuan hukum dan Penerapannya
Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya hakim menemukan dan menerapkan hukumnya. Menemukan hukum tidak hanya sekedar mencari undang-undangnya saja untuk diterapkan pada peristiwa yang konkrit, tetapi yang dicarikan hukumnya untuk diterapkan pada suatu peristiwa yang konkrit.
Kegiatan ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undang harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkrit.
Jika peristiwa konkrit itu telah ditemukan hukumnya, maka langsung menerapkan hukum tersebut, jika tidak ditemukan hukumnya, maka hakim harus mengadakan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan tersebut.
Sekiranya interpretasi tidak dapat dilakukannya, maka ia harus mengadakan konstruksi hukum Seorang hakim dalam melakukan penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo, (1993 : 91-92), maka harus melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut :
a). Tahap konstatir:
disini hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa yang diajukan. Misalnya benarkah si A telah meninggalkan si B selama dua tahun berturut-turut tanpa izin si B dan tanpa alasan yang sah, sehingga si B menderita lahir dan batin ? disini para pihak berkewajiban untuk membuktikan melalui penggunaan alat-alat bukti. Dalam tahap konstatir ini kegiatan hakim bersifat logis. Penguasaan hukum pembuktian bagi hakim, sangat dibutuhkan pada tahap ini.
b). Tahap kualifikasi:
di sini hakim kemudian mengkualifisir termasuk hubungan hukum apa tindakan si A tadi ? Dalam hal ini dikualifisir sebagai perbuatan melalaikan kewajiban (Pasal 19 huruf (b) PP. Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (b) KHI . Mengkualifisir menunjukkan bahwa dalam tindakan ini dilakukan penilaian terhadap peristiwa yang telah dianggap terbukti itu termasuk hubungan hukum apa atau yang mana. Dengan perkataan lain, mengkualifisir merupakan tindakan menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir.
c). Tahap konstituir:
di sini hakim menetapkan hukumnya terhadap yang bersangkutan (para pihak). Di sini hakim menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu simpulan dari premis mayor berupa aturan hukumnya dan premis minor berupa tindakan si A meninggalkan si B. Mengkonstituir merupakan tindakan memberi konstitusinya terhadap peristiwa yang telah dikonstatir dan dikualifisir. Dengan demikian mengkonstituir sesungguhnya mengandung pengertian bahwa dalam tindakan ini hakim menentukan hukumnya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penemuan hukum oleh hakim merupakan suatu keharusan dan penting dalam praktek di pengadilan.
5.      Pengambilan Keputusan.
Jika penemuan hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan oleh hakim, maka ia harus menuangkannya dalam bentuk tertulis yang disebut dengan putusan. Proses penyusunan putusan melalui tahap-tahap inilah yang akan melahirkan sebuah putusan yang argumentative dan dapat dipertanggungjawabkan.
 Dengan dibuat putusan tersebut diharapkan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran peristiwa hukum dan penerapan peraturan perundang-undangan secara tepat dalam perkara yang diadili tersebut.
G.    Sisitematika Putusan
Putusan yang dibuat oleh hakim merupakan suatu dokumen resmi. Sebagai dokumen resmi tentunya putusan itu harus dibuat secara sistematis dan terarah sehingga dapat memudahkan kita untuk mengikuti jalan pikiran yang tertuang didalamnya.
Pada umumnya sistematika penyusunan suatu putusan adalah sebagai berikut :
1.      Kepala putusan terdiri dari :
-          Putusan/Penetapan
-          Nomor Putusan/Penetapan
Kata Basmalah (dengan menggunakan Bahasa Arab); ( Pasal 57 (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan diubah lagi dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ).
Kata " Demi Keadilan dst.."( Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman). Setiap putusan yang tidak mencantumkan kalimat Demi keadilan Berdasarkan KetuhananYang Maha Esa, maka putusan yang dijatuhkan tidak dapat dilaksanakan/ Non eksekutable.
Pengadilan .....yang mengadili perkara tertentu.
2.      Identitas dan kedudukan para pihak
-          Nama
-          Umur
-          Agama
-          Pendidikan ( untuk mengetahui pemahaman tentang hukum );
-          Pekerjaan
-          Tempat tinggal;
-          Kuasa Hukum;
-          Alamat kantor kuasa hukum;
-          Tanggal surat kuasa;
-          Kedudukan para pihak.
Penulisan identitas para pihak berupa nama, umur, agama, pekerjan, dan tempat kediaman adalah sangat penting sebagaimana maksud Pasal 67 UU Nomor 7 Tahun 1989. Pencantuman nama yang jelas dalam putusan adalah hal yang mutlak, sehingga apabila terdapat perbedaan antara gugatan dengan KTP, Akta Nikah maupun pengakuan dalam persidangan, maka penulisan nama tersebut dalam putusan harus ditulis secara keseluruhan dengan memakai alias.
Apabila para pihak memakai kuasa hukum, maka penyebutan identitas para pihak didahulukan dengan identitas kuasa hukum yang diikuti dengan kata-kata dengan ini memberi kuasa kepada .. dan seterusnya
Dalam perkara perdata yang terdapat didalamnya rekonvensi, misalnya cerai talak yang ada rekonvensi dari isteri, maka penyebutan untuk suami sebagai Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi. Demikian juga isteri sebagai Penggugat Rekonvensi/Termohon Konvensi.
Penyebutan kedudukan para pihak ini harus jelas agar memudahkan dalam memahami isi putusan.
3.      pencantuman konsideran singkat berupa kalimat :
-          Telah melihat dan membaca surat-surat yang bersangkutan;
-          Telah mendengar para pihak dan keterangan saksi-saksi;
4.      Duduk perkaranya.
Hal-hal yang diuraikan dalam duduk perkara meliputi :
-          Konvensi;
-          Provisi;
-          Pokok Perkara.
-          Jawaban
-          Eksepsi;
-          Pokok Perkara;
-          Rekonvensi.
-          Replik;
-          Duplik;
-          Intervensi;
-          Vrijwaring;
-          Hasil pemeriksaan setempat;
-          Alat bukti penggugat;
-          Alat bukti tergugat;
-          Kesimpulan Penggugat dan Tergugat.
Kemudian untuk mempersingkat keterangan yang terdapat dalam persidangan, maka ditulis kata-kata bahwa â€Å“ untuk meringkas uraian putusan ini, maka ditunjuk semua yang berlangsung dalam persidangan sebagaimana tercatat dalam berita acara persidangan dianggap masuk dalam putusan ini.
5.      Pertimbangan Hukum.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum adalah sebagai berikut :
-          Pertimbangan kewenangan;
-          Pertimbangan personal standing;
-          Pertimbangan provisi;
-          Pertimbangan eksepsi;
-          Pertimbangan dalil mana yang harus dibuktikan;
-          Pertimbangan alat bukti eksepsi tergugat;
-          Pertimbangan alat bukti penggugat untuk melumpuhkan alat bukti eksepsi Tergugat;
-          Pertimbangan dalil eksepsi Tergugat yang dapat dibuktikan/tidak dapat dibuktikan;
-          Pertimbangan penerapan hukum;
-          Pertimbangan pengabulan eksepsi/penolakan eksepsi.
Ø  Pertimbangan pokok perkara meliputi :
Pertimbangan dalil yang diakui tergugat;
Pertimbangan dalil yang dibantah;
Pertimbangan dalil-dalil yang harus dibuktikan;
Pertimbangan alat bukti Penggugat;
Pertimbangan alat bukti Tergugat untuk melumpuhkan alat bukti Penggugat;
Pertimbangan dalil penggugat yang dapat dibuktikan;
-          Pertimbangan penerapan hukum;
-          Pertimbangan pengabulan atau penolakan gugatan konvensi;
-          Pertimbangan sita jaminan sah dan berharga.
Ø  Pertimbangan rekonvensi meliputi :
-          Pertimbangan dalil yang diakui tergugat rekonvensi;
-          Pertimbangan dalil rekonvensi yang dibantah;
-          Pertimbangan dalil rekonvensi yang harus dibuktikan;
-          Pertimbangan bukti penggugat rekonvensi;
-          Pertimbangan bukti tergugat rekonvensi untuk melumpuhkan bukti Penggugat rekonvensi;
-          Pertimbangan dalil penggugat rekonvensi yang dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan;
-          Pertimbangan penerapan hukum;
-          Pertimbangan pengabulan rekonvensi atau penolakan rekonvensi;
-          Pertimbangan sita jaminan sah dan berharga dalam rekonvensi.
-          Pertimbangan intervensi;
-          Pertimbangan dalil intervensi yang diakui Tergugat intervensi;
-          Pertimbangan dalil intervensi yang dibantahTergugat intervensi;
-          Pertimbangan dalil intervensi yang harus dibuktikan;
-          Pertimbangan alat bukti penggugat intervensi;
-          Pertimbangan alat bukti tergugat intervensi untuk melumpuhkan bukti penggugat intervensi;
-          Pertimbangan dalil penggugat intervensi yang dapat dibuktikan atau yang tidak dapat dibuktikan;
-          Pertimbangan penerapan hukum;
-          Pertimbangan pengabulan gugatan intervensi atau penenolakan intervensi;
-          Pertimbangan sita jaminan sah dan berharga dalam intervensi.
-          Pertimbangan konvensi/rekonvensi/intervensi tentang biaya perkara;
-          Paragraf mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku serta hukum islam yang berkaitan dengan perkara ini.
6.      Amar putusan
Amar putusan adalah isi dari putusan itu sendiri yang merupakan jawaban petitum dalam surat gugatan penggugat . Merupakan jawaban dari petitum gugatan yang dimulai dengan kata-kata mengadili. Dalam menyusun amar hakim haruslah tegas dan jelas terperinci dan jelas maksudnya sehingga mudah dalam pelaksanaanya, dan pada amar itu dilihat sifat-sifat putusan tersebut dalam amar juga disebut besarnya biaya dan pembebanannya kepada siapa (vide 181 HIR/192 RBG, pasal 89 ayat (1) UU no 7 tahun 1989).
Dalam menyusun amar putusan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.       Harus bersifat tegas, lugas, terperinci tidak samar-samar atau tidak menimbulkan penafsiran.
b.      Sifat amar apakah konstitutif, deklaratoir atau condemnatoir, hal ini menyangkut eksekusi.
c.       Besarnya biaya perkara yang harus di tanggung oleh para Penggugat/ Tergugat.
d.      Jika ada mengabulkan sita dan telah di letakkan sita dan perkaranya dikabulkan hakim harus menyatakan sita sah dan berharga, sebaliknya jika perkaranya ditolak, maka sita harus dinyatakan diangkat karena bila hakim lupa mengangkat sita, maka sita tersebut akan melekat selamanya.
e.       Setiap amar harus telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum terlebih dahulu.
f.       Amar tidak boleh lebih dari petitum (Pasal 178 (3) HIR/ 189 (3) RBG) kecuali apabila hal-hal yang tidak dituntut itu disebutkan dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.( Ex offisio Hakim ).

Kata MENGADILI
PROVISI:
KONVENSI:
Eksepsi
Pokok Perkara
REKONVENSI:
Eksepsi
Pokok Perkara
INTERVENSI:
Eksepsi
Pokok Perkara
DALAM KONVENSI, REKONVENSI DAN INTERVENSI
Tentang biaya perkara
Bagian penutup/kaki putusan
Mencantumkan waktu putusan tersebut dijatuhkan, Hakim majelis dan panitera yang memutus serta keterangan hadir atau tidaknya para pihak dan diberi materai dan rincian biaya perkara.
Tanggal penjatuhan putusan;
Majelis yang menjatuhkan putusan;
Penjelasan persidangan terbuka untuk umum pada saat pembacaan putusan;
Kehadiran para pihak;
Kolom tanda tangan majelis dan panitera pengganti;
Rincian biaya perkara;
Tehnik pembuatan putusan dan penetapan
·         Diketik di kertas A4 dengan 1 ½ spasi.
·         Font Arial size 12
·         Menggunakan kertas A4 70 gram.
·         Ukuran margin sebagai berikut : Batas Atas 3 cm, Batas Kiri 5 cm, Batas Bawah 3 cm, Batas Kanan 2 cm
·         Pada bagian kepala putusan ditulis nomor putusan yang diambil dari nomor perkara kemudian ada kata Bismillahirrahmanirrahim dan â€Å“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemudian menyebutkan nama pengadilan yang memutus perkara serta jenis perkaranya.
·         Pada bagian identitas menyebutkan pihak-pihak serta kedudukannya dalam perkara tersebut. Tentang duduknya perkara selalu dimulai dengan kata-kata menimbang bahwa dan disusun secara kronologis dimulai dengan saat mengajukan gugatan, terdaftar dalam register perkara, dan gugatan, jawaban, replik, duplik, alat-alat bukti serta kesimpulan para pihak.
·         Tentang pertimbangan hukum dimulai dengan kata-kata menimbang bahwa..dan seterusnya sampai pada pembebanan biaya perkara.
·         Amar putusan ditulis dengan kata-kata MENGADILI lalu baru buat putusan sebagai jawaban dari petitum tergugat kemudian pada bagian penutup/hal putusan ditulis hari/tanggal dijatuhkan putusan oleh pengadilan……dan nama majelis hakim dan panitera penggantinya serta dihadiri atau tidak pihak-pihak yang berperkara. Pada bagian bawah sebelah kanan ditulis hakim ketua yang ditanda tangani diatas materai dan sebelah kiri secara berurut kebawah nama hakim anggota dan paling bawah perincian biaya perkara.
Didalam proses penalaran hukum dari segi metodologinya mempunyai urutan sebagai berikut:
·         Perumusan pokok sengketa
·         Penemuan fakta
·         Penemuan Hukum
·         Penalaran Hukum
·         Pengambilan keputusan / penerapan hukum
·         Penulisan putusan
Hakim sebelum memutuskan suatu perkara harus melalui tahapan kegiatan yaitu.
1.      Mengkonstatir peristiwa hukum
2.      Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan para pihak
3.      Mengkonstituir
7.      Penetapan
Penetapan berupa putusan hakim yang berisi pertimbangan hakim karena adanya permohonan dan diktum penyelesaian permohonan yang di tuangkan dalam bentuk penetapan (beschikhing).
Sifat diktumnya deklaratoir.
Nilai penetapan sebagai akta otentik yang melekat hanya pada diri pemohon saja, tidak pada lainnya.
Pada penetapan tidak berlaku asas nebis in idem
Upaya hukumnya kasasi (pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 14 tahun 1985 yang telah di ubah dengan undang-undang nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia)
Selain itu ada beberapa bentuk penetapan yang menjadi produk pengadilan antara lain:
-          PMH (Penetapan Majelis Hakim)
-          PHS (Penetapan Hari Sidang)
-          Penetapan mengabulkan untuk berpekara prodeo
-          Penetapan mengabulkan untuk berpekara menolak prodeo
-          Penetapan pencabutan perkara oleh Penggugat sebelum ada jawaban
-          Penetapan mediator
-          Penetapan tentang terjadinya talak
-          Penetapan perintah sita jaminan dengan disertai PHS
-          Penetapan perintah sita jaminan dengan menangguhkan PHS
-          Penetapan penolakan sita jaminan dengan disertai PHS
-          Penetapan menangguhkan sita jaminan dengan disertai PHS
-          Penetapan perintah sita eksekusi
-          Penetapan perintah memanggil Tergugat untuk diberi teguran memenuhi isi putusan (aanmaning)
-          Penetapan perintah eksekusi pembayaran sejumlah uang
-          Penetapan eksekusi rill
-          Penetapan perintah sita eksekusi
A.     STUDI KASUS
Baca kasus ini dengan seksama
RESUME PUTUSAN
Nomor : 980/Pdt.G/2001/PA.JA tanggal 4 februari 2002 dantanggal 15 juli 2002
Ilham bin Hadi menikah dengan Maria binti Musa tanggal 15-2-1986 dan tercatat di KUA Kec. Kota, Kab. Bantul, Akta Nikah No. 52/29/1986 dan telah dikaruniai dua orang anak, yaitu : Rina, umur 11 tahun (pr) dan Umar, umur 10 tahun (ik).
Sejak lahir 1998 mereka sering bertengkar karena Maria berubah menjadi cerewet, keras kepala, curiga dan pencemburu, selalu menyalahkan suami, dan pemboros. Kalo bertengkar Maria sering mencaci dan merendahkan martabat IIham.
Pada bulan juli 2001 IIham pulang kerumah orang tuanya dengan membawa anak-anak dan sejak itu mereka tidak pernah berkumpul lagi. Pada tanggal 16-12-2001 IIham mengajukan permohonan talak ke Pengadilan Agama Jakarta Atas. Pengadilan memanggil Maria tetapi ia tidak pernah hadir dipersidangan.
IIham mengajukan bukti foto copy Akte Nikah dan saksi keluarga bernama Harti binti Bambang, yang menerangkan dibawah sumpah pada pokoknya sejak tahun 1998, rumah tangga IIham dan Maria tidak harmonis lagi dan sering bertengkar. Sejak bulan yang lalu, IIham meninggalkan Maria dengan mengajak dua anaknya. Mengenai sebabnya, Harti tidak tahu. Pihak keluarga telah berusaha mendamaikan mereka tetapi tidak berhasil. IIham menyatakan sanggup memberikan nafkah iddah dan muth’ah Rp. 3.000.000,.
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim antara lain menyatakan :
Menimbang, bahwa Maria tidak pernah hadir dipersidangan meskipun telah dipanggil dengan patut, maka termohon dianggap mengakui dan membenarkan permohonan pemohon. Karenanya permohonan pemohon harus dinyatakan terbukti sejalan dengan maksud pasal 174 HIR;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mendengar keterangan keluarga pemohon bernama Harti binti Bambang yang menerangkan sebagaimana tersebut diatas;
Menimbang, bahwa dengan demikian dapat disimpulkan rumah tangga pemohon dan termohon sudah pecah dan tidak sesuai lagi dengan tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud pasal 3 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, sehingga mempertahankan perkawinan tetap berlangsung justru akan menimbulkan dampak yang tidak baik bagi kedua belah pihak dan anak-anak;
Berdasarkan pertimbangan diatas maka alasan perceraian dalam pasal 19 (f) PP No.9 tahun 1975 telah terwujud, dan permohonan talak pemohon dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa termohon tidak pernah hadir dipersidangan meskipun telah dipanggil secara patut, dan ketidak hadirannya tidak mempunyai alasan yang sah, sedang permohonan pemohon sudah beralasan dan tidak melawan hak, maka permohonan tersebut dapat diputus secara verstek sejalan dengan pasal 125 HIR
Menimbang bahwa pemohon sanggup memberikan nafkah iddah dan muth’ah Rp. 3.000.000,.kepada termohon setelah sidang ikrar talak, dan termohon dianggap setuju karena tidak pernah hadir di persidangan untuk membantahnya. Oleh karenanya nafkah iddah dan muth’ah ini wajib ditaati oleh kedua belah pihak.
Selanjutnya Majelis Hakim menjatuhkan putusan verstek yang pada pokoknya memberi ijin kepada IIham untuk menjatuhkan talak terhadap Maria dengan kewajiban membayar nafkah iddah dan muth’ah Rp.3.000.000,.serta biaya perkara sebesar Rp.277.000,.
Sehubungan dengan putusan verstek tersebut MARIA tidak puas dan melalui kuasa Hukumnya dari Lembaga Perlindungan Perempuan
 mengajukan verzet pada tanggal 17 Maret 2002 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Bahwa Maria membantah semua dalil permohonan IIham. Selama ini rumah tangganya biasa-biasa saja. Semua itu hanya alasan yang direkayasa IIham untuk menceraikannya.
Bahwa benar sejak juli 2001 IIham pergi meninggalkannya dengan membawa anak-anak, tetapi bukan karena bertengkar, tetapi karena IIham akan kawin lagi dengan Wati, seorang janda kaya teman bisnis IIham. Sejak meninggalkan rumah, IIham tidak pulang kerumah orang tuanya tetapi kumpul serumah dengan Wati. Dan pada bulan Agustus 2001 IIham pernah membujuk Maria agar mau di cerai, sebab Wati akan menganggap lunas utang-utang IIham apabila ia mau menceraikan Maria, Kemudian menikahi Wati. Jadi alasan IIham untuk menceraikan Maria yang sebenarnya adalah untuk memenuhi permintaan Wati tersebut.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut Maria mohon agar permohonan talak IIham ditolak karena tidak beralasan dan Maria tidak bersalah.
Sebagai antisipasi apabila pengadilan tetap mengabulkan permohonan IIham untuk menjatuhkan talaknya, maka Maria mengajukan gugat balik sebagai berikut :
Sejak pergi dari rumah bulan juli 2001, IIham tidak pernah memberi nafkah kepada Maria, Karena itu ia harus membayar utang nafkah selama 7 bulan a. Rp. 6.000.000,. = Rp. 42.000.000,-, nafkah iddah = Rp.20.000.000,- dan muth’ah Rp.100.000.000,- karena Rina dan Umar belum berumur 12 tahun maka hadlanah agar diserahkan kepada Maria, sedang nafkahnya harus ditanggung IIham sebagai ayahnya sebesar Rp. 4.000.000,-/bulan

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, PT.Toko Gunung Agung, Jakarta: 2002;
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006;

Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag.RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, 2004;
Ensiklopedia Hukum Islam, 1996
Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim Jakarta 2009
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, tanpa tahun;
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
------------ , Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, 2000;
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan hukum,Citra Aditya Bakti,1993;
------------, Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty,Yogyakarta,1988;
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta, 1992;
Taufiq,H, Teknik Membuat Putusan, PPHIM, Jakarta,1988;
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, Cet. 1. Alumni : Bandung, 2000.

1 komentar: